Jadi Duta Pariwisata ke Beijing dan Seoul, Gratis bahkan Dibayar

“Life is either a daring adventure or nothing at all.”-Helen Keller.

Gelar Wakil II None Jakarta Barat 2000 dan Harapan II None DKI Jakarta membuat saya resmi berhak memakai selempang None Jakarte 2000 dan mendapat kesempatan menjadi Duta Pariwisata ke Beijing dan Seoul.

Pemilihan Abang None Jakarta yang diadakan sejak tahun 1968 serta rutin berlangsung hingga kini, memang merupakan ajang mencari Duta Pariwisata yang bertujuan untuk mempromosikan pariwisata dan kebudayaan provinsi DKI Jakarta. Pemenangnya akan mendampingi Gubernur DKI Jakarta atau Wakil Gubernur DKI Jakarta dalam acara kebudayaan di mancanegara.

Saat bertugas ke Beijing dan Seoul, kami bersama rombongan lengkap para pejabat termasuk Gubernur DKI. Fashion designer kondang Ramli (almarhum) yang membawa sepasukan model cantik yang dikomandani Arzetti Bilbina, Noni Chirilda dan George Taka.

Ikut juga rombongan penari tradisional Jakarta untuk melakukan promosi pada acara Pekan Pariwisata Internasional di Beijing, Cina.

Perjalanan ini memungkinkan kami menjelajahi Tembok Besar Cina. Beberapa area wisata unik lain dan membuka jaringan persahabatan dengan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di sana. Bahkan mereka kerap menemani dan membantu saat berbelanja di pasar.

Bicara tentang tawar menawar, saya banyak belajar dari salah satu model papan atas yang ikut dalam rombongan. Ia selalu menawar setengah harga bahkan lebih tapi tetap mengatakan dengan lembut dan sopan. Jika pemilik barang ibarat hendak mengusir kami, dengan lembut ia akan berkata,

”Saya kan cuma nawar, kalau tidak bisa ya nggak apa-apa. Namanya juga usaha”

Terus terang ilmu menawarnya masih saya praktekkan sampai sekarang. Jika sedang ke Mangga Dua, adik bahkan mama sering meminta saya yang menawar. Kalau sedang menawar suatu barang di toko, lalu menengok ke belakang. Biasanya tidak ada orang sebab semua sudah pada kabur, katanya malu karena saya menawarnya sadis! Tetapi kalau akhirnya disetujui penjual, ya adik dan mama saya gembira dan mengucapkan berjuta terimakasih karena dapat harga murah.

Di Beijing siang hari kami biasanya menyambut pengunjung yang datang ke anjungan Jakarta. Menjelaskan kota dan tujuan wisata yang menarik di Jakarta serta berbagai kebudayaan Betawi termasuk tari maupun kulinernya.

Oiya, sedikit menengok kebelakang. Seperti kita tahu dalam kontes beauty pageant dikenal konsep 3B atau Brain, Beauty & Behaviour (menurut saya akan lebih lengkap ditambah dengan B keempat alias Beautiful heart).

Karena akan mewakili citra pemerintah DKI Jakarta, kami digembleng saat karantina. Seluruh finalis Abang None Jakarta diperkenalkan pariwisata dan kebudayaan andalan Jakarta, public speaking, etiket, makeup, berbusana yang baik bahkan psikologi

Jadi jangan dianggap menjadi None Jakarta itu pekerjaan mudah. Karena beban yang disandangnya sebagai Duta Pariwisata membutuhkan beberapa keterampilan dasar dan pengetahuan yang mumpuni.

Oke kita lanjut lagi kisah perjalanan saya berikutnya.

Di Seoul, saya mendapatkan pengalaman tak kalah mengesankan. Tanpa K-Wave, K-Pop atau drakor dengan aktor-aktornya yang ganteng pun, Korea Selatan telah memikat hati saya.

Berhubung tidak ada mahasiswa Indonesia yang ditugaskan bersama kami, saya mengeksplorasi Korea bersama pasangan Abang saya Henry Michael Pattie. Berbekal kartu nama hotel dan nomor bis serta kereta, kami menyusuri sudut-sudut Seoul setelah kegiatan pameran selesai. Huruf Korea yang berserakan di berbagai penjuru kota, membuat kami harus membawa kartu nama penginapan untuk memudahkan warga Korea memandu bila tersesat dalam perjalanan kembali ke Hotel.

Paling jelas terlihat adalah kedisiplinan masyarakatnya. Saat jam makan siang mereka berbaris rapi menunggu giliran. Dan sesudahnya, jangan harap bisa bersua karyawan yang makan di mal.

Saat menjaga pavilion, saya banyak diperhatikan para pengunjung dan dibilang cantik. Terutama matanya. Ternyata karena mata saya dianggap besar. Tentu saja banyak gadis Korea yang oplas agar ada kelopak matanya. Kalau kita jeli, hampir semua pemeran utama drakor memiliki mata yang lebar.

Ada kejadian tak terlupakan. Ada seorang pria Korea datang mengajak berbincang dan mengaku sempat bekerja di Jakarta. Bahkan dengan perlahan berkata,

“Saya bisa berbahasa Indonesia. Mau dengar ?”

“Mau,” kami menjawab dengan antusias,

Tahu apa yang dia katakan ? Tunggu punya tunggu, ternyata segepok kosakata bahasa Indonesia jorok yang diucapkan dengan terpatah-patah.

”Wah itu akibat salah gaul,” kata saya sambil tertawa.

Itulah kisah saya dapat melihat dunia tanpa minta uang orang tua dan dibayar pula, karena mendapat uang saku.

Bagaimana, anda terinspirasi juga dan mau mengikuti jejak saya?

Penulis : Desy Andriani

Editor   : Gavi Lamore

Butuh bantuan?